Sabtu, 28 Maret 2015

SISTEM DAN HUKUM MEDIA MASSA

KEPENTINGAN PUBLIK & REZIM MEDIA MASSA
PENDAHULUAN

Abad 21 dikenal sebagai abad informasi, akses terhadap informasi dianggap sebagai keharusan tak tertolak, jika tidak maka, anda tidak bisa menyesuaikan diri di zaman ini, seiring dengan itu, penguasaan terhadap media diyakini sebagai sebuah keharusan, siapa yang memegang media maka dia yang akan berkuasa, pandangan seperti ini tidak perlu membuat kita terkejut, sebab informasi dan media merupakan dua bagian yang selalu berusaha menyatu, informasi merupakan anak kandung media, media adalah rahim pemroses sebelum informasi dilempar ke publik.
Media massa, adalah salah satu unsur penting dalam pengawasan Negara dan distribusi informasi, hiburan, serta pendidikan bagi publik. Media sebagai bentuk dari komunikasi massa. Komunikasi massa secara umum dibahas sebagai fenomena modern. Komunikasi massa terdiri atas institusi dan teknis berbasis teknologi seperti pers, radio, film, dan lainnya. Digunakan untuk menyampaikan pesan atau simbol tertentu secara masal, luas, dan heterogen . Bagaimana jenis komunikasi baru mempengaruhi kekuatan struktur masyarakat. Media baru memberikan sumber kekuatan baru. Contoh kasus prita yang membuat kekuatan melalui media baru dengan menggalang koin untuk Prita. Media baru adalah pilihan media yang dapat benar-benar membuktikan esensi dari kebebasan berpendapat yang sering diwakilkan dengan kata “demokrasi”.



A.    Para Rezim Media
Laju modernisasi yang semakin cepat  menyebabkan tampilan media semakin canggih dari dekade ke dekade, kecanggihan media berefek pada kemampuan ekspansinya yang semakin massif, media mampu menembus ruang paling privat dari kehidupan manusia, informasi pada dasarnya tidak lagi selalu bersifat netral dan sebagaimana adanya, informasi lebih merupakan konstruksi (bentukan) media, bentuk informasi sangat ditentukan oleh sudut pandang media dalam mempersepsi sebuah kejadian sebelum dikemas dalam bentuk informasi, pada posisi ini media bermetamorfosis menjadi sebuah rezim abad informasi, rezim media.
Jika kita lebih kritis menilai maka, kita akan berjumpa dengan kenyataan bahwa pada dasarnya media tidak pernah mampu menampilkan kenyataan sebagaimana yang sesungguhnya terjadi, yang ditampilkan hanya fakta buatan, bukan fakta sebegaimana fakta itu sendiri, untuk lebih mempermudah pemahaman maka  contoh berikut akan membantu, bila terjadi demonstrasi maka, yang paling sering ditampilkan hanya ban yang dibakar, sementara poin pernyataan sikap demonstran menjadi terlupakan, padahal poin pernyataan sikap tersebut yang merupakan alasan utama mereka turun ke jalan, yang diwawancarai pun hanya satu atau dua orang pengendara yang lewat yang kebetulan hanya melihat sisi negatif dari aksi tersebut, lalu apakah semua pengendara hanya melihat sisi negatif dari aksi yang sedang berlangsung itu, tentu tidak, ada juga yang memberikan apresiasi positif, tapi kenapa suara mereka tidak diangkat oleh media? Atau dalam lanskap yang lebih luas, kita ambil contoh invasi AS ke Iraq, media AS memberikan pembenaran mutlak atas invasi tersebut. Namun media Iraq dan beberapa media besar yang berada di luar ke dua negara tersebut justru mencela habis – habisan invasi AS, mengapa bisa berbeda? Padahal objek pemberitaan yang disoroti sama.
Jika kita memasuki tataran wacana media maka, konten pemberitaan sebuah media sangat dipengaruhi oleh ideologi yang diusung media dan pemilik media bersangkutan, amati saja, jika media tersebut berhaluan kapitalisme maka pemberitaannya pasti cenderung melakukan pembenaran terhadap agenda-agenda kapitalisme, tentu hal tersebut dikemas sangat halus, atau media yang berhaluan pada paham agama tertentu, pasti pula pemberitaannya lebih banyak melakukan klaim pembenaran terhadap paham agama tersebut, begitupun dengan ideologi yang lain. Dari sisi pemilik media, pemberitaan dalam sebuah media pasti tidak berani mengekspos secara terbuka pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik media, bahkan berusaha menutupinya, sangat sering pula media menjadi penyambung lidah kepentingan dari pemiliknya, coba saja anda bandingkan antara Metro TV yang dimiliki Surya paloh dan naungan MNC Group yang dimiliki Harry tanoesoedibjo.
Dalam situasi seperti ini, sebenarnya kita membutuhkan media independen yang berani keluar dari arus pemberitaan media mainstream, hal tersebut telah coba dilakukan oleh beberapa kelompok, namun sayangnya media independen juga sering terjebak pada konflik kepentingan, apakah kepentingan politik dalam sebuah Negara, atau konflik kepentingan dalam area yang sangat kecil. Dalam situasi ini, independensi sering tergadai, secara sadar atau tak sadar media bersangkutan berpihak kepada salah satu kelompok kepentingan. Akibatnya ia pun terklaim sebagai pembawa suara kelompok kepentingan tertentu, boleh jadi kelompok kepentingan tersebut belum tentu benar adanya, bahkan berpotensi terbukti keliru di kemudian hari, seharusnya awak media independen membatasi diri pada semua kelompok kepentingan, tidak terlalu jauh bergumul intim dengan kelompok tersebut, hal ini penting demi menjamin netralitas, sebab sekali kehilangan kepercayaan sebagai media independen maka terlalu sulit membangkitkan kembali kepercayaan itu, atau bahkan mustahil.


B.     Menundukkan Massa dan Publik pada Era Rezim Media
Kemajuan teknologi komunikasi telah mengubah karakter media massa lebih  sebagai industri, dan watak industri itu memiliki akibat fatal, dimana masyarakat dipersepsi sebagai sekadar massa. Dalam pengertian ini, suatu massa diartikan sebagai individu yang sedikit melakukan interaksi atau komunikasi di antara para anggotanya. Massa hanya terdiri dari sebuah agregasi berbagai individu yang terpisah, tidak terikat, dan tidak saling mengenal. Individu dalam massa bersifat heterogen yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Sifat heterogennya berbanding lurus dengan karakter masyarakatnya. Secara geografis, sebaran individu dalam suatu massa tersebut dibatasi oleh suatu wilayah atau tempat tertentu. (Blummer, 1946:185 dalam Price 1992:24-28). Sifat geografis massa ini berbeda dengan publik yang sebaran anggotanya tidak dibatasi oleh suatu wilayah atau tertori tertentu. Artinya, kedudukan atau wujud keberadaan massa itu dapat dilihat dan dibatasi dalam suatu lokasi atau teritori tertentu.
Bagi Blummer, perilaku massa akan menjadi signifikan dalam kehidupan modern dan industri media. Perilaku yang semula tidak saling mengenal, jarang berinteraksi, bersifat reaktif kemudian terlibat dalam perbincangan tersebut dimungkin terjadi karena kemampuan media mengemas suatu peristiwa. Kemasan peristiwa tersebut lantas disebarkan secara luas dan seketika melalui media massa karena faktor kemajuan teknologi komunikasi.
Mills (1956:304 dalam Price, 1992:29) memberi ekploarasi pendapat Blumer tersebut. Menurutnya saluran komunikasi dalam masyarakat harus terbuka dan responsif, memberi ruang bagi semua orang untuk menyampaikan pendapat mereka sebagaimana yang mereka terima. Menurut estimasi Mills, kondisi modern lebih menguntungkan bagi munculnya konsepsi”massa” daripada “publik” karena empat alasan dasar, yaitu:
1.      Beberapa orang yang mau mengungkapkan pendapat atas sebuah informasi dan lebih sedikit dari yang menerima.
2.      Komunikasi yang berlaku sangat teroganisir, sehingga sulit atau tidak mungkin bagi individu untuk memberi jawaban atau efek.
3.      Realisasi pendapat dalam tindakan dikendalikan oleh wewenang dari yang mengatur dan mengontrol saluran tindakan tersebut.
4.      Massa tidak memiliki wewenang dari instansi, sebaliknya agen instansi yang berwenang memiliki hak menembus massa, sehingga mengurangi otonomi massa dalam pembentukan opini melalui diskusi.
Berbeda dengan “publik”, dalam relasinya dengan media, sedikit dari masyarakat “massa” yang mengekspresikan opini mereka atas wacana atau isu yang diusung oleh media. Kebanyakan dari anggota media diam atau menerima begitu saja opini media. Bentuk komunikasi antara masyaarakt massa dan media menyulitkan kareana tidak terorganiir dengan baik. Bahkan meniadakan kemungkinan untuk dengan segera memberikan feedback terhadap isu dari wacana media. Masyarakat massa juga tidak memiliki otonomi seperti halnya publik karena adanya lembaga otoritas yang melakukan penetrasi.
Masyarakat massa merupakan abtraksi dari kekuatan sosial yang besar dengan resistensi yang juga besar. Itulah sebabnya massa sulit dikendalikan, karena berjumlah besar, tidak dapat dibeda-bedakan, dan umumnya bercitra negatif. Massa tersebar luas, heterogen, tidak saling berinteraksi dan bersifat anonim.
Kuatnya pengaruh media dalam mengontruksi masyarakat berimplikasi pada melemahnya relasi media dan publik. Oleh karena itu, kedua konsep tersebut, terutama konsep publik menjadi penting diketengahkan untuk menemukan kontruksi sosial yang dibentuk oleh media. Fenomena infotaiment yang marak dalam industri telivisi dapat diajukan sebagai kasusu salah kaprah media mendudukan publik dan massa. Serinng ditemui proses produksi berita atau informasi oleh sejumlah infotaiment menggunakan disposisi sosial yang keliru.
Media dalam relasinya dengan publik pada gilirannya akan dituntut untuk memenuhi kepentingan publik tersebut. Sebab, selain berfungsi sebagai institusi ekonomi yang beroreantasi profit, media juga merupakan institusi sosial karena memeliki kewajiban untuk turut membentuk tatanan publik yang ideal. Ini yang disebut sebagai kewajiban sosial media. Suatu kewajiban yang melekat dalam institusi media, terutama dalam kehidupan media yang demokratis. Isi media terutama televisi yang bersifat menghibur harus diletakkan dalam konteks pemenuhan hak publik untuk mendapatkan hiburan dan juga sebaliknya.
Lebih lanjut dalam relasinya dengan media dibandingkan massa publik berjumlah relatif lebih besar, tersebar, stabil, dan bersifat otonom. Publik cenderung terbentuk berdasarkan isu atau wacana media memiliki tujuan utama untuk memperjuangkan kepentingan publik. Melalui media, publik dapat beropini untuk memperjuangkan keinginannya demi menghasilkan suatu perubahan ke arah terwujudnya kebaikan publik.
Publik menjadi semacam ‘institusi soaial’ yang mampu mengorganisir pendapat mereka sedemikian rupa untuk segera secara efektif memberi umpan balik terhadap isu dan wacana yang berkembang di media. Bentuk atau wadah realasi publik media ini yang kemudian dikenal sebagai ruang publik. Ruang diciptakan untuk berbagai aksi publik dan media dapat dirujuk sebagai ruang publik (public sphere).

C.    Media Televisi Sebagai Public Sphere
Istilah publik dalam relasinya dengan media dapat ditelusuri dari pemikiran Jurgen Habermas tentang public sphere merupakan sebuah formasi pengertian ‘publik’bukan sebagai prinsip yang abstrak, tetapi sebagai suatu penamaan praktik sosial secara budaya, dan ini membicarakan analisa media secara historis.
Opini publik yang terbentuk dalam public sphere menggambarkan suatu proses sosial terjadinya tranformasi kekuasaan, atau tepatnya kontrol publik terhadap kekuasaan negara. Dalam iklim demokrasi dan era media saat ini, media massa menjadi pusat strategis bagi terwujudnya public sphere. Menurut Murdock (1992) (dalam Barret and Newbold, 1995) public sphere pada era demokrasi setidaknya memiliki tiga prinsip, yaitu:
1.      Adanya kebutuhan masyarakat demokratis (warga negara) untuk memiliki akses terhadap informasi, sarana dan analisis yang akan membuat mereka mampu mengetahui dan berusaha memperoleh hak-hak pribadi mereka.
2.      Adanya akses informasi yang luas dan kebebasan berdiskusi dalam wilayahyang terkait pada pilihan politik publik.
3.      Adanya fasilitas bagi masyarakat untuk mengenali diri sendiri dan aspirasinya yang terpresentasi di media, serta media dapat memberikan kontribusi atas pengembangan masyarakat. Hal ini juga akhirnya akan mentransformasikan politik menjadi rational authority dalam media yang menjadi ruang publik, sehingga surat kabar politik memiliki peran penting.
Dari sini sebenarnya bukan hal baru jika media massa kerap digunakan sebagai alat bagi partai politik untuk membentuk opini sebagaimana terjadi di Indonesia. Dalam ruang publik, media massa seharusnya menjadi katalisator dalam menyelesaikan masalah atau pertikaian dalam masyarakat. Sayangnya, media bukanlah saluran yang bebas. Media merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.
Di samping itu, dalam pandangan kritis, media dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antar kelompok. Hanya kelompok berideologi dominanlah yang akan tampil dalam pemberitaan dan menguasai media. Di sini distorsi, mis-representasi, mis-komunikasi dan mis-interpretasi dalam pemberitaan tidak terhindarkan; termasuk pemberitaan yang dinilai merusak citra suatu kelompok tertentu.
Oleh karena adanya keberpihakan suatu kelompok inilah, independensi media sebagai sebuah media massa di dalam publik dipertanyakan. Pemberitaan dalam sebuah media massa pun pantas untuk diragukan, karena media tersebut atau mungkin bigboss dari media tersebut mendukung suatu kelompok, demi untuk mempertahankan citra kelompok tersebut. Hal ini tak pelak berimbas pada kinerja dari jurnalisnya sendiri.

D.    Politisasi dan Komersialisasi Media Televisi
Masuknya Kapitalisme pada industri media dapat dengan cepat memfasilitasi dan menaikkan berita dan informasi sebagai komoditas. Dalam industri media, cara kerja kapitalisme tersebut adalah dengan memonopoli publik yang dilindungi oleh negara dan dioperasikan sesuai dengan prinsip public good. Semuanya terlihat seakan secara nyata bermanfaat bagi publik. Akibatnya, semakin komersial suatu berita atau informasi maka semakin cepat terbentuknya budaya massa. Semakin terpusatnya kepemilikan media semakin tidak ada pilihan informasi bagi publik.
Dewasa ini, media massa semakin memegang peran sangat penting dalam kehidupan politik. Aktivitas media dalam melaporkan peristiwa-peristiwa politik sering memberi dampak yang amat signifikan bagi perkembangan politik. Di sini, media bukan saja sebagai sumber informasi politik, melainkan juga kerap menjadi faktor pendukung (trigger) terjadinya perubahan politik. Pemberitaan yang lebih terbuka ---untuk menyebut salah satu kasus ---oleh pers nasional tentang keberatan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah turut serta dalam mempercepat tumbangnya rezim itru pada tahun 1998 oleh Gerakan Reformasi.  Ketika itu, pemberitaan luas tentang gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa beserta masyarakat oleh media cetak dan elektronik telah menyebabkan efek domino tuntutan dipercepatnya pengunduran diri Presiden Soeharto ke berbagai elemen masyarakat. (Suwardi dalam Hamad, 2004 : XV)
Menurut Harsono Suwardi dalam Ibnu Hammad, banyak aspek dari media massa yang membuat dirinya penting dalam kehidupan politik.
1.      daya jangkaunya (coverage) yang sangat luas dalam menyebarluaskan informasi politik; yang mampu melewati batas wilayah (geografis), kelompok umur, jenis kelamin, sosial-ekonomi-status (demografi) dan perbedaan paham dan orientasi (psikografis).  Dengan begitu suatu masalah politik yang dimediasikan menjadi perhatian bersama diberbagai tempat dan kalangan.
2.      kemampuannya melipatgandakan pesan (multiflier of message) yang luar biasa.  Satu peristiwa politik bisa dilipatgandakan pemberitaanya sesuai jumlah eksemplar koran, tabloid dan majalah yang tercetak, juga bisa diulang-ulang penyiarannya sesuai kebutuhan.  Alhasil, pelipatgandaan ini menimbulkan dampak yang sangat besar di tengah khalayak.
3.      setiap media bisa mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai pandangannya masing-masing.  Kebijakan redaksional yang dimilikinya menentukan penampilan isi peristiwa politik yang diberitakan.  Justeru karena kemampuan inilah media banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin menggunakannya dan sebaliknya dijauhi oleh pihak yang tidak menyukainya.
4.      tentu saja dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki kesempatan yang sangat luas (bahkan hampir tanpa batas) untuk memberitakan sebuah peristiwa politik.  Sesuai dengan kebijakannya masing-masing, setiap peristiwa politik dapat disiarkan atau tidak disiarkan.  Yang jelas, belum tentu berita politik yang menjadi agenda media merupakan agenda publik juga.
5.      pemberitaan peristiwa politik oleh suatu media lazimnya berkaitan dengan media lainnya hingga membentuk rantai informasi (media as link in other chains).  Hal ini akan menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi politik dan dampaknya terhadap publik.  Dengan adanya aspek ini, semakin kuatlah peranan media dalam membentuk opini publik (Hamad, 2004 : XV)
Di tengah peradaban yang sudah bertransformasi menjadi The Age of Media Society seperti saat ini, tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa.  Media massa bukan saja menjadi ikon zaman, tapi juga penanda dari setiap perikehidupan yang berlangsung dalam abad ini.  Tak sedetik pun momen terlewatkan dari media massa. Tak secelah pun informasi terabaikan.
Lebih-lebih lagi, televisi.  Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya.  Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi.  Betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu. Selain itu, televisi memiliki keunggulan-keunggulan dibanding media massa lainnya, yaitu sifatnya yang bisa menampilkan sebuah peristiwa secara audia visual. Hal ini, lebih menarik  minat masyarakat untuk menggunakan televisi sebagai media informasi, pendidikan dan hiburan.
Karena sifat-sifatnya itu, media televisi saat ini menjadi rebutan para politisi. Mereka seolah berlomba untuk mendapatkan perhatian media televisi.  Karena daya jangkaunya, misalnya, para aktor politik memanfaatkan media untuk menyebarluaskan pembicaraan-pembicaraan politik mereka, dengan harapan capaian tujuan politiknya juga bisa jauh lebih besar ketimbang yang bisa diperoleh  melalui saluran  komunikasi politik lainnya (Hamad, 2004 : 10).
Sehingga, di balik kuatnya posisi tersebut, televisi—atau tepatnya, industri televisi—menghadirkan juga sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap kali mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak sebagaimana dimanatkan undang-undang. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu.
Selain itu, munculnya kepemilikan televisi oleh segelintir orang atau sekolompok orang menimbulkan politisasi media televisi.  Menurut pengamatan penulis, media televisi saat ini dimiliki oleh para pengusaha yang menerjunkan diri menjadi politisi.  Sebagai politisi, tentu saja meraka memiliki tujuan-tujuan politik. Sebenarnya, tidak ada salahnya bagi seorang pengusaha/pemilik stasiun televisi terjun dalam dunia politik.  Tetapi sayangnya, saat ini muncul gejala politisiasi terhadap media televisi yang dimilikinya. Kekuasaannya sebagai pemilik stasiun televisi kerap memaksakan “syahwat” politiknya dalam siaran-siaran televisi.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam tulisan ini penulis akan menyoroti masalah politisasi media televisi tersebut. Politisasi dalam tulisan ini diartikan sebagai pemaksaan “syahwat” politik dari pemilik televisi untuk mencapai tujuan politiknya melaui siaran-siaran televisi.
            Komersialisasi merupakan suatu tindakan yang mengutamakan sisi beneficial dan eksistensi. Sedangkan maksud dari komersialiasi pada televisi yakni, bergesernya fungsi televisi sebagai media penyiaran yang edukatif dan informatif menjadi media yang mengutamakan profit/keuntungan dengan mengesampingkan kualitas siaran yang ditayangkan. Bentuk komersialisasi dari media televisi saat ini diantaranya adalah:
a.       Program yang berbasis pada rating
Keberadaan rating ini dipakai sebagai rujukan atau pedoman, bukan kualitas akan program yang ditayangkan, sehingga pihak pengelola hanya akan menilik keberadaan program berdasarkan jumlah viewers semata dan mengesampingkan nilai-nila edukatif dan informatif itu sendiri. Dengan adanya rating ini misal suatu program mendapat rating yang tinggi, maka akan memicu bagi stasiun televisi lainnya untuk membuat program serupa dengan harapan yang sama. Sementara, tidak selalu formulasi dan komposisi sebuah acara yang sama persis bisa mendapatkan angka rating yang sama persis pula. Baru setelah semuanya pasti, yakni setelah angka capaian rating didapatkan. Pemasang iklan baru akan datang. (Wirodono, 2006: 94).
b.      Maraknya Iklan sebagai profit making
Televisi dengan kapitalisme memang sulit dipisahkan, keduanya memiliki kepentingan yang nyaris tidak berbeda. Menurut Shoemaker (1991 :121), organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik modal, dan pasar dengan tujuan untuk memproduksi, mendistribusi dan membuka cara konsumsisme yang ditawarkan. Sebagai capitalist venture televisi beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Dalam pandangan Smythe, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audien bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis (Smythe 1997).
Dengan demikian, media khususnya televisi terjerat dalam tiga situasi: pertama, tingginya investasi yang harus disiapkan dan yang mengakibatkan desakan untuk menjamin return of investment sesuai dengan rencana bisnis awal. Kedua, kecenderungan meningkatnya biaya overhead dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti suku bunga, peningkatan biaya produksi terutama peralatan, peningkatan biaya untuk pengisi acara dan biaya penyewaan fasilitas produksi seperti lighting, audio, set décor, dan post production facilities. Ketiga, desakan teknologi yang menuntut dipenuhinya teknologi baru secara terus menerus untuk memungkinkan kualitas dan kreatifitas produksi agar tetap kompetitif terhadap produk dalam maupun luar negeri. Akumulasi dari ketiga permasalahan tersebut menyebabkan kompetisi ketat yang pada gilirannya menimbulkan benturan antara idealis masyarakat dan media yang bersangkutan (Ishadi S.K, 2010: 128)
c.       Ekonomi Politik
Sesuai pendapat McQuail (2010 : 219) terdapat tiga faktor utama yang akan selalu mempengaruhi operasionalisasi penyiaran TV :
(1) Ekonomi,
(2) Teknologi ,
(3) Politik.
Faktor ekonomi dan teknologi merupakan dua faktor utama penunjang keberlangsungan hidup TV sebagai industri. Pengaruh faktor politik dapat terlihat secara eksplisit dan implisit melalui isi program tayangannya, dan semakin jelas ketika Pemilu (Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja).
Media yang ditumpangi kekuatan penguasa tertentu ini menggunakan propaganda politik sebagai sasarannya. Lasswell (dalam Hafied Cangara, 2009) menyatakan bahwa propaganda adalah suatu kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi yang membawa masyarakat dalam situsi kebingungan, ragu-ragu, dan terpaku pada sesuatu yang tampak menipu dan menjatuhkan.
Propaganda ini dilakukan dalam berbagai bentuk diantaranya yakni kampanye. McGniss dalam bukunya The Selling Of President (dalam Hafied Cangara, 2009) menyebutkan bahwa media massa utamanya televisi memiliki peran yang menentukan dalam pembentukan citra kandidat.

E.     Publik sebagai Agen Sosial dan Strukturasi Media
Menurut Giddens, manusia sebagai agen sosial memiliki keterarahan dan memiliki tujuan dalam setiap perilakunya sehari-hari. Hal ini disebut dengan monitoring refleksif dan rasionalisasi. Perilaku manusia itu merupakan proses, bukan hasil atau akibat dari motivasi awalnya yang dapat berupa dorongan tidak sadar. Atas dasar pemikiran tersebut, menurut Giddens, menjadi manusia adalah menjadi’agen’ bagi terbentuknya segala macam perbedaan, memiliki kapasitas untuk mencampuri, memengaruhi, dan membentuk seluruh peristiwa sosial yang terjadi di dunia. Disaat yang sama sebagai agen, setiap manusia memiliki apa yang disebut Giddens dengan knowledge ablity untuk melindungi seluruh otonomi tindakannya (Giddens, 1982:212).
Rezim media sebagai sebuah struktur sosial dapat terbentuk setelah melalui partisipasi publik sebagi agen atau aktor sosial. Perpekstif teori struturasi Giddens mengemukakan tiga tingkatan kesadaran agen, yaitu:
1.      Motif atau kognisi tidak sadar (unconscious motives/cognition). Motif lebih merujuk kepotensial bagi tindakan, ketimbang cara tindakan itu dilakukan oleh si agen,
2.      Kesadaran diskursif (discursive consciousness) yaitu apa yang mampu dikatakan atau diberi oleh ekspresi verbal oleh agen, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri.
3.      Kesadaran praktis (practical consciousness), merupakan sesuatu yang diketahui (percayai) oleh publik sebagai aktor sosial tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran praktis terkait dengan stok pengetahuan yang secara implisit digunakan oleh agen dalam bertindak maupun mengartikan tindakan yang lain.
F.     Jurnalisme dan Kepentingan Publik
Jurnalisme atau jurnalistik berhubungan erat dengan kata "berita". Berita itu adalah informasi baru-baru tentang sesuafu yang telah terjadi atau tentang sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Maka berita itu adalah kejadian, peristiwa atau hal yang baru., YMEmemberi pengalaman baru serta menarik untuk diperhatikan, menarik untuk dirasakan, menarik untuk dilukiskan bahkan memberi kekayaan diri pribadi yang bisa menyenangkan, menguntungkat, memberi rasa bahagia, menjadikan bersedih, menjadi kecewa atau hal baru apa saja yang datang pada penglihatan, pendengaran, persaan, pikiran dan seterusnya.
Berita adalah kata pokok atau inti dari jurnalisme, dan manusia membutuhakn berita karena analisa dasar yang menjadikan manusia menyimpulkan untuk mendapat pengetahuan dan kejadian serta peristiwa-peristiwa di luar pengalaman mereka sehingga mereka merasa amarl, mereka dapat merencanakhn dan mengatur hidup mereka. Selanjutnya, dengan berita itu orang menciptakan komunitas karena menjadi saling tukar menukar informasi atau berita; berita membuat ikatan antar manusia terjalin (R.ovach. Bill & Rosenstiel, Tom, 2001).
Untuk apa berita itu disampaikan dan apa tujuan jurnalisme? Pertanyaan ini memberikan arah pikiran kita pada apa tujuan penyajian berita yang tak lain tak bukan ialah menyampaikan kebenaran sehingga orang-orang mempunyai informasi yang mereka butuhkan dan berdaulat, dan ini adalah kata-kata dari Jack Fuller, Presiden Tribune Publishing Company yang menerbitkan Chicago Tribunes. Ia adalah penulis, novelis, pengacara selain tugasnya di Tribune Publishing Company.
Dalam kode etik American Society News Paper Editor dinyatakan bahwa tujuan jurnalisme ialah untuk melayani kesejahteraan umum dengan menginformasikan berita kepada orang-orang. Berita adalah bagian dari komunikasi yang membuat kita terus memperoleh informasi tentang pengertian, peristiwa isu dan tokoh di dunia luar.
Situasi jurnalisme kontemporer di Indonesia saat ini memang cukup memprihatinkan. Kebebasan pers yang telah mendapat legitimasi yuridi melalui Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya justru bukan oleh jurnalis tetapi oleh pemilik media. Jurnalisme semakin menjauh dengan agenda publik karena kuatnya tekanan pemilik media yang memiliki target pencapaian ekonomi dan politik tertentu.
Kepentingan publik adalah hal ikhwal yang berhubungan dengan  apa yang menjadi kebutuhan publik yang utama tanpa hal mana kehidupan manusia tak lengkap atau terasa ada yang hilang. Maka, ada banyak kepentingan-kepentingan bagi kehidupan manusia. Ada kepentingan manusia yang berhubungan dengan kehidupan fisisbiologis manusia, dan bila tak ada hal itu maka manusia terancam hidupnya. Bila orang terancam tidak dapatbernafas maka hidupnya juga terancam maka timbul kepentingan untuk menjamin lingkungan kehidupan manusia terbebas dari racun, gas mematikan atau ketiadaan udara unfuk bernafas. Ada kepentingan lain yang berhubungan dengan kehidupan biologis ialah makan dan minum. Maka, orang-orang dalam kehidupannya bekerja dan berusaha untuk memperoleh minuman dan makanan agar ia tak kehausan dan kelaparan yang mengakibatkan kehidupannya terancam.
Terdapat pula kepentingan yang berkaitan dengan kepentirg* fisis-biologis di atas yaitu kepentingan untuk hidup sehat. Kesehatan adalah kepentingan yang perlu diusahakan manusia agar ia tidak menjadi sakit yang pada gilirannya dapat mendatangkan kematian. Demikian juga terdawpat kepentingan akan pergaulan sosial. Manusia t9memerlukan kebutuhan untuk pergaulan; ia perlu berhubungan atau berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, dalam rangka itu dalam kehidupan dan pergaulannya, manusia telah lama mengenal akan adanya kelularga dimana suami bergaul dengan isterinya, dan ayah dalam keluarga bergaul dengan anak-anaknya, selanjutnya terdapat pergaulan antara anggota-anggota keluarga lainnya.



Kesimpulan
Konten pemberitaan sebuah media sangat dipengaruhi oleh ideologi yang diusung media dan pemilik media bersangkutan, amati saja, jika media tersebut berhaluan kapitalisme maka pemberitaannya pasti cenderung melakukan pembenaran terhadap agenda – agenda kapitalisme, tentu hal tersebut dikemas sangat halus, atau media yang berhaluan pada paham agama tertentu, pasti pula pemberitaannya lebih banyak melakukan klaim pembenaran terhadap paham agama tersebut, begitupun dengan ideologi yang lain.
Dalam situasi seperti ini, sebenarnya kita membutuhkan media independen yang berani keluar dari arus pemberitaan media mainstream, hal tersebut telah coba dilakukan oleh beberapa kelompok, namun sayangnya media independen juga sering terjebak pada konflik kepentingan, apakah kepentingan politik dalam sebuah Negara, atau konflik kepentingan dalam area yang sangat kecil, dalam situasi ini, independensi sering tergadai, secara sadar atau tak sadar media bersangkutan berpihak kepada salah satu kelompok kepentingan, akibatnya ia pun terklaim sebagai pembawa suara kelompok kepentingan tertentu, boleh jadi kelompok kepentingan tersebut belum tentu benar adanya, bahkan berpotensi terbukti keliru di kemudian hari, seharusnya awak media independen membatasi diri pada semua kelompok kepentingan, tidak terlalu jauh bergumul intim dengan kelompok tersebut, hal ini penting demi menjamin netralitas, sebab sekali kehilangan kepercayaan sebagai media independen maka terlalu sulit membangkitkan kembali kepercayaan itu, atau bahkan mustahil.
            Tak disangkal, kita memang mengalami lompatan sosial (social jumping) dari budaya agraris ke masyarakat informasi yang belum matang. Maksudnya, masyarakat yang masih rendah tingkat literasi medianya, langsung diterpa pola penontonan serba-wah yang meninabobokan kesadaran khalayak. Jadilah bangsa kita sebagai bangsa penonton berat (heavy viewers) yang kerap kali mudah terdominasi sekaligus tunakuasa untuk melakukan kritisisme atas beragam pengetahuan dan mungkin juga “sampah” informasi yang setiap hari dihantarkan televisi hingga ke ruang-ruang keluarga.







 REFERENSI
Bambang, Cahyono Tri, 2005, Manajemen Samber Doya Monusio, Jakarta: IPWI
Curran, James. (et.al.). Culture Society and the Media. (2005)
Dant, Tim. Critical Social Theory Culture, Society and Critique. (2004)
Harsmo, Andreas, 2010, Agoma Saya adalah Jurnalisme, Yogyakarta : Kanisius

Syahputra, Iswandi 2013, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam  Industri Televisi, Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama

1 komentar:

  1. Sega Genesis II vs BK8 (Part #2) - Vntopbet.com
    in bk8 the Sega Genesis game, known fun88 vin as the Mega Drive outside North America. 카지노사이트 to the console, and also featured a unique "World Cup Edition"

    BalasHapus