Nafiz,
Yatim dalam Kandoeng
Senyuman bahagia tampak memancar dari wajah kakak iparku, Linda.
Perempuan satu anak ini telah dikaruniai
seorang bayi laki-laki mungil beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada 21
Febuari 2013. Namun dibalik senyumannya yang bahagia itu, aku melihat ada
kesedihan yang dia coba untuk menutupinya. Dia merupakan kakak iparku yang
belum lama menikmati akan kebahagiaan pernikahan bersama suaminya, Jamal. Kini dia harus
menerima kenyataan untuk hidup menjada diusia mudanya. Peristiwa miris yang merenggut suaminya tahun lalu
meninggalkan banyak kesedihan dihatinya. Kepergian suaminya menyisakan duka
yang begitu pilu, dimana waktu itu dia tengah hamil tiga bulan. Semenjak itu
hari-harinya selalu diliputi kedukaan yang mendalam, hingga keluargaku pun ikut merasakan apa yang dia alami.
Hari terus berlalu, namun air mata duka itu
rasanya sulit sekali untuk dia bendungkan. Sesekali dia terisak tangis saat
selesai melakukan salat. Sepertinya dia merasa belum bisa menerima akan
kepergian suami tercintanya. Tapi keluargaku selalu berusaha membuatnya untuk
dapat mengiklaskan dan menerima semua peristiwa itu. Lambat laun berjalannya
waktu, dia terus berusaha untuk melupakan kisah sedih yang memilukan. Usia
kandungannya semakin hari semakin dekat saja dengan masa kelahirannya,
keluargaku selalu mencoba membuatnya
ceria untuk tidak terus menerus dalam kesedihan, yang nantinya dapat menjadikan
kandungannya terkena sesuatu yang tidak diinginkan.
Keluargaku sangat berharap semoga bayi yang
dikandung kakak iparku saat lahir nanti adalah
laki-laki, apa lagi ibuku sampai-sampai mereka ada yang melakukan nazar.
Hingga usia kandungannya sudah sampai tujuh bulan, pihak keluargaku
mengadakan kenduri Mee Bu sebagai bentuk
rasa syukur agar selalu diberkahi dan diberi keselamatan bagi sang ibu dan
janinnya. Tapi acara yang seharusnya bertemakan suka cita itu, malah membuat
orang-orang yang menghadirinya haru dan sedih, ketika sang kakak iparku saat di
peusijuek tanpa kehadiran suaminya yang
menemani disampingnyua. Pihak keluargaku dan keluarga kakak iparku pun tak bisa
menahan air mata, hingga pecahlah tangisan hingga membuat suasana semakin haru.
Setelah beberapa bulan kemudian, hari yang
dinanti-nantipun tiba. Tepatnya pada Sabtu, 21 Febuari 2013, kehadiran bayi yang sudah tidak memiliki lagi sang ayahpun sampai waktunya. Alhamdulillah
berita yang membahagiakan itu langsung sampai ke telingaku yang waktu itu
berada di Banda Aceh. Seperti harapan dan doa keluargaku selama ini, ternyata
Allah memperkenankan semuanya itu, hingga bayinya adalah laki-laki. Disaat
kabar gembira tersebut di ketahui banyak saudara dan kerabatku, mereka
benar-benar gembira sekali, tapi perasaan sedih tetap mengiringi kebahagiaan
itu. Mereka sangat prihatin terhadapnya, mengingat bayinya yang terlalu kecil sudah menyandang
status yatim. Sehingga tak ayal dari mereka ada yang banyak memberi santunan.
Siyatim
kecilpun kini sudah gede dan lucu. Ya, Muhammad Addurun Nafis adalah namanya,
ini merupakan pemberian dari sang ayahnya
yang diwasiatkan kepada Ibunya beberapa hari sebelum dia meninggal.
Umurnya sekarang telah menginjaki 10 bulan dan sudh mulai berbicara. Aku yakin,
suatu saat nanti dan hal tersebut tidak akan lama lagi akan terjadi. Karena
lambat laun walau kata-kata yang diucapnya masih terbata-bata, dia pasti akan
mengucapkan suatu kata yang akan membuat orang-orang yang berada didekatnya
akan sedih dan menjatuhkan air mata, yaitu kata ayah. Dan dia juga akan
bertanya kepada orang-orang yang berada dekat dengannya,
“Mak, ayah hoe ka geujak, pakon jeut hana
newoe-woe. Afis hawa keneuk kaloen rupa ayah.”
Atau
“Mak, aneuk yang laen na lago ayah jih, pakon Afis hana.”
Mendengar kata-kata itu sungguhlah miris sekali
dan rasanya seperti ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun aku tahu, kisah
ini tidak hanya dialami oleh keponakanku sendiri dan diluar sana masih banyak
cerita-cerita yang mungkin seperti dia. Aku juga mengingat hal serupa seperti
yang dialami oleh Rasululullah, yang
alur ceritanya hampir sama, namun hanya karena Rasulullah seorang kekasih Allah
dan dia dapat bersabar dengan semua itu. Aku juga berharap semoga apa yang
dialami keponakanku, suatu saat dia juga akan ikhlas menerimanya.(*)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar