Sabtu, 28 Maret 2015

Features

Nafiz, Yatim dalam Kandoeng
Senyuman bahagia tampak  memancar dari wajah kakak iparku, Linda. Perempuan satu anak ini telah  dikaruniai seorang bayi laki-laki mungil beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada 21 Febuari 2013. Namun dibalik senyumannya yang bahagia itu, aku melihat ada kesedihan yang dia coba untuk menutupinya. Dia merupakan kakak iparku yang belum lama menikmati akan kebahagiaan pernikahan  bersama suaminya, Jamal. Kini dia harus menerima kenyataan untuk hidup menjada diusia mudanya. Peristiwa  miris yang merenggut suaminya tahun lalu meninggalkan banyak kesedihan dihatinya. Kepergian suaminya menyisakan duka yang begitu pilu, dimana waktu itu dia tengah hamil tiga bulan. Semenjak itu hari-harinya selalu diliputi kedukaan yang mendalam, hingga keluargaku pun  ikut merasakan apa yang dia alami.
Hari terus berlalu, namun air mata duka itu rasanya sulit sekali untuk dia bendungkan. Sesekali dia terisak tangis saat selesai melakukan salat. Sepertinya dia merasa belum bisa menerima akan kepergian suami tercintanya. Tapi keluargaku selalu berusaha membuatnya untuk dapat mengiklaskan dan menerima semua peristiwa itu. Lambat laun berjalannya waktu, dia terus berusaha untuk melupakan kisah sedih yang memilukan. Usia kandungannya semakin hari semakin dekat saja dengan masa kelahirannya, keluargaku selalu mencoba  membuatnya ceria untuk tidak terus menerus dalam kesedihan, yang nantinya dapat menjadikan kandungannya terkena sesuatu yang tidak diinginkan.
Keluargaku sangat berharap semoga bayi yang dikandung kakak iparku saat lahir nanti adalah  laki-laki, apa lagi ibuku sampai-sampai mereka ada yang melakukan nazar. Hingga usia kandungannya sudah sampai tujuh bulan, pihak keluargaku mengadakan  kenduri Mee Bu sebagai bentuk rasa syukur agar selalu diberkahi dan diberi keselamatan bagi sang ibu dan janinnya. Tapi acara yang seharusnya bertemakan suka cita itu, malah membuat orang-orang yang menghadirinya haru dan sedih, ketika sang kakak iparku saat di peusijuek  tanpa kehadiran suaminya yang menemani disampingnyua. Pihak keluargaku dan keluarga kakak iparku pun tak bisa menahan air mata, hingga pecahlah tangisan hingga membuat suasana semakin haru.
Setelah beberapa bulan kemudian, hari yang dinanti-nantipun tiba. Tepatnya pada Sabtu, 21 Febuari 2013, kehadiran  bayi yang sudah tidak memiliki lagi  sang ayahpun sampai waktunya. Alhamdulillah berita yang membahagiakan itu langsung sampai ke telingaku yang waktu itu berada di Banda Aceh. Seperti harapan dan doa keluargaku selama ini, ternyata Allah memperkenankan semuanya itu, hingga bayinya adalah laki-laki. Disaat kabar gembira tersebut di ketahui banyak saudara dan kerabatku, mereka benar-benar gembira sekali, tapi perasaan sedih tetap mengiringi kebahagiaan itu. Mereka sangat prihatin terhadapnya, mengingat  bayinya yang terlalu kecil sudah menyandang status yatim. Sehingga tak ayal dari mereka ada yang banyak memberi santunan.
 Siyatim kecilpun kini sudah gede dan lucu. Ya, Muhammad Addurun Nafis adalah namanya, ini merupakan pemberian dari sang ayahnya  yang diwasiatkan kepada Ibunya beberapa hari sebelum dia meninggal. Umurnya sekarang telah menginjaki 10 bulan dan sudh mulai berbicara. Aku yakin, suatu saat nanti dan hal tersebut tidak akan lama lagi akan terjadi. Karena lambat laun walau kata-kata yang diucapnya masih terbata-bata, dia pasti akan mengucapkan suatu kata yang akan membuat orang-orang yang berada didekatnya akan sedih dan menjatuhkan air mata, yaitu kata ayah. Dan dia juga akan bertanya kepada orang-orang yang berada dekat dengannya,
“Mak, ayah hoe ka geujak, pakon jeut hana newoe-woe. Afis hawa keneuk kaloen rupa ayah.”
 Atau  “Mak, aneuk yang laen na lago ayah jih, pakon Afis hana.”

Mendengar kata-kata itu sungguhlah miris sekali dan rasanya seperti ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun aku tahu, kisah ini tidak hanya dialami oleh keponakanku sendiri dan diluar sana masih banyak cerita-cerita yang mungkin seperti dia. Aku juga mengingat hal serupa seperti yang  dialami oleh Rasululullah, yang alur ceritanya hampir sama, namun hanya karena Rasulullah seorang kekasih Allah dan dia dapat bersabar dengan semua itu. Aku juga berharap semoga apa yang dialami keponakanku, suatu saat dia juga akan ikhlas menerimanya.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar