KEPENTINGAN PUBLIK & REZIM
MEDIA MASSA
PENDAHULUAN
Abad
21 dikenal sebagai abad informasi, akses terhadap informasi dianggap sebagai
keharusan tak tertolak, jika tidak maka, anda tidak bisa menyesuaikan diri di
zaman ini, seiring dengan itu, penguasaan terhadap media diyakini sebagai
sebuah keharusan, siapa yang memegang media maka dia yang akan berkuasa,
pandangan seperti ini tidak perlu membuat kita terkejut, sebab informasi dan
media merupakan dua bagian yang selalu berusaha menyatu, informasi merupakan
anak kandung media, media adalah rahim pemroses sebelum informasi dilempar ke
publik.
Media
massa, adalah salah satu unsur penting dalam pengawasan Negara dan distribusi
informasi, hiburan, serta pendidikan bagi publik. Media sebagai bentuk dari
komunikasi massa. Komunikasi massa secara umum dibahas sebagai fenomena modern.
Komunikasi massa terdiri atas institusi dan teknis berbasis teknologi seperti
pers, radio, film, dan lainnya. Digunakan untuk menyampaikan pesan atau simbol
tertentu secara masal, luas, dan heterogen . Bagaimana jenis komunikasi baru mempengaruhi
kekuatan struktur masyarakat. Media baru memberikan sumber kekuatan baru.
Contoh kasus prita yang membuat kekuatan melalui media baru dengan menggalang
koin untuk Prita. Media baru adalah pilihan media yang dapat benar-benar
membuktikan esensi dari kebebasan berpendapat yang sering diwakilkan dengan
kata “demokrasi”.
A. Para Rezim Media
Laju
modernisasi yang semakin cepat
menyebabkan tampilan media semakin canggih dari dekade ke dekade,
kecanggihan media berefek pada kemampuan ekspansinya yang semakin massif, media
mampu menembus ruang paling privat dari kehidupan manusia, informasi pada
dasarnya tidak lagi selalu bersifat netral dan sebagaimana adanya, informasi
lebih merupakan konstruksi (bentukan) media, bentuk informasi sangat ditentukan
oleh sudut pandang media dalam mempersepsi sebuah kejadian sebelum dikemas
dalam bentuk informasi, pada posisi ini media bermetamorfosis menjadi sebuah
rezim abad informasi, rezim media.
Jika
kita lebih kritis menilai maka, kita akan berjumpa dengan kenyataan bahwa pada
dasarnya media tidak pernah mampu menampilkan kenyataan sebagaimana yang
sesungguhnya terjadi, yang ditampilkan hanya fakta buatan, bukan fakta
sebegaimana fakta itu sendiri, untuk lebih mempermudah pemahaman maka contoh berikut akan membantu, bila terjadi
demonstrasi maka, yang paling sering ditampilkan hanya ban yang dibakar,
sementara poin pernyataan sikap demonstran menjadi terlupakan, padahal poin
pernyataan sikap tersebut yang merupakan alasan utama mereka turun ke jalan,
yang diwawancarai pun hanya satu atau dua orang pengendara yang lewat yang
kebetulan hanya melihat sisi negatif dari aksi tersebut, lalu apakah semua
pengendara hanya melihat sisi negatif dari aksi yang sedang berlangsung itu,
tentu tidak, ada juga yang memberikan apresiasi positif, tapi kenapa suara
mereka tidak diangkat oleh media? Atau dalam lanskap yang lebih luas, kita
ambil contoh invasi AS ke Iraq, media AS memberikan pembenaran mutlak atas
invasi tersebut. Namun media Iraq dan beberapa media besar yang berada di luar
ke dua negara tersebut justru mencela habis – habisan invasi AS, mengapa bisa
berbeda? Padahal objek pemberitaan yang disoroti sama.
Jika
kita memasuki tataran wacana media maka, konten pemberitaan sebuah media sangat
dipengaruhi oleh ideologi yang diusung media dan pemilik media bersangkutan,
amati saja, jika media tersebut berhaluan kapitalisme maka pemberitaannya pasti
cenderung melakukan pembenaran terhadap agenda-agenda kapitalisme, tentu hal
tersebut dikemas sangat halus, atau media yang berhaluan pada paham agama
tertentu, pasti pula pemberitaannya lebih banyak melakukan klaim pembenaran
terhadap paham agama tersebut, begitupun dengan ideologi yang lain. Dari sisi
pemilik media, pemberitaan dalam sebuah media pasti tidak berani mengekspos secara
terbuka pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik media, bahkan berusaha
menutupinya, sangat sering pula media menjadi penyambung lidah kepentingan dari
pemiliknya, coba saja anda bandingkan antara Metro TV yang dimiliki Surya paloh
dan naungan MNC Group yang dimiliki Harry tanoesoedibjo.
Dalam
situasi seperti ini, sebenarnya kita membutuhkan media independen yang berani
keluar dari arus pemberitaan media mainstream, hal tersebut telah coba
dilakukan oleh beberapa kelompok, namun sayangnya media independen juga sering
terjebak pada konflik kepentingan, apakah kepentingan politik dalam sebuah
Negara, atau konflik kepentingan dalam area yang sangat kecil. Dalam situasi
ini, independensi sering tergadai, secara sadar atau tak sadar media
bersangkutan berpihak kepada salah satu kelompok kepentingan. Akibatnya ia pun
terklaim sebagai pembawa suara kelompok kepentingan tertentu, boleh jadi
kelompok kepentingan tersebut belum tentu benar adanya, bahkan berpotensi
terbukti keliru di kemudian hari, seharusnya awak media independen membatasi
diri pada semua kelompok kepentingan, tidak terlalu jauh bergumul intim dengan
kelompok tersebut, hal ini penting demi menjamin netralitas, sebab sekali
kehilangan kepercayaan sebagai media independen maka terlalu sulit membangkitkan
kembali kepercayaan itu, atau bahkan mustahil.
B. Menundukkan Massa dan Publik pada Era
Rezim Media
Kemajuan
teknologi komunikasi telah mengubah karakter media massa lebih sebagai industri, dan watak industri itu
memiliki akibat fatal, dimana masyarakat dipersepsi sebagai sekadar massa.
Dalam pengertian ini, suatu massa diartikan sebagai individu yang sedikit
melakukan interaksi atau komunikasi di antara para anggotanya. Massa hanya
terdiri dari sebuah agregasi berbagai individu yang terpisah, tidak terikat,
dan tidak saling mengenal. Individu dalam massa bersifat heterogen yang berasal
dari berbagai lapisan masyarakat. Sifat heterogennya berbanding lurus dengan
karakter masyarakatnya. Secara geografis, sebaran individu dalam suatu massa
tersebut dibatasi oleh suatu wilayah atau tempat tertentu. (Blummer, 1946:185
dalam Price 1992:24-28). Sifat geografis massa ini berbeda dengan publik yang
sebaran anggotanya tidak dibatasi oleh suatu wilayah atau tertori tertentu.
Artinya, kedudukan atau wujud keberadaan massa itu dapat dilihat dan dibatasi
dalam suatu lokasi atau teritori tertentu.
Bagi
Blummer, perilaku massa akan menjadi signifikan dalam kehidupan modern dan
industri media. Perilaku yang semula tidak saling mengenal, jarang
berinteraksi, bersifat reaktif kemudian terlibat dalam perbincangan tersebut
dimungkin terjadi karena kemampuan media mengemas suatu peristiwa. Kemasan
peristiwa tersebut lantas disebarkan secara luas dan seketika melalui media
massa karena faktor kemajuan teknologi komunikasi.
Mills
(1956:304 dalam Price, 1992:29) memberi ekploarasi pendapat Blumer tersebut.
Menurutnya saluran komunikasi dalam masyarakat harus terbuka dan responsif,
memberi ruang bagi semua orang untuk menyampaikan pendapat mereka sebagaimana
yang mereka terima. Menurut estimasi Mills, kondisi modern lebih menguntungkan
bagi munculnya konsepsi”massa” daripada “publik” karena empat alasan dasar,
yaitu:
1. Beberapa orang yang mau mengungkapkan
pendapat atas sebuah informasi dan lebih sedikit dari yang menerima.
2. Komunikasi yang berlaku sangat
teroganisir, sehingga sulit atau tidak mungkin bagi individu untuk memberi
jawaban atau efek.
3. Realisasi pendapat dalam tindakan
dikendalikan oleh wewenang dari yang mengatur dan mengontrol saluran tindakan tersebut.
4. Massa tidak memiliki wewenang dari
instansi, sebaliknya agen instansi yang berwenang memiliki hak menembus massa,
sehingga mengurangi otonomi massa dalam pembentukan opini melalui diskusi.
Berbeda
dengan “publik”, dalam relasinya dengan media, sedikit dari masyarakat “massa”
yang mengekspresikan opini mereka atas wacana atau isu yang diusung oleh media.
Kebanyakan dari anggota media diam atau menerima begitu saja opini media.
Bentuk komunikasi antara masyaarakt massa dan media menyulitkan kareana tidak
terorganiir dengan baik. Bahkan meniadakan kemungkinan untuk dengan segera
memberikan feedback terhadap isu dari wacana media. Masyarakat massa juga tidak
memiliki otonomi seperti halnya publik karena adanya lembaga otoritas yang
melakukan penetrasi.
Masyarakat
massa merupakan abtraksi dari kekuatan sosial yang besar dengan resistensi yang
juga besar. Itulah sebabnya massa sulit dikendalikan, karena berjumlah besar,
tidak dapat dibeda-bedakan, dan umumnya bercitra negatif. Massa tersebar luas, heterogen,
tidak saling berinteraksi dan bersifat anonim.
Kuatnya
pengaruh media dalam mengontruksi masyarakat berimplikasi pada melemahnya
relasi media dan publik. Oleh karena itu, kedua konsep tersebut, terutama
konsep publik menjadi penting diketengahkan untuk menemukan kontruksi sosial
yang dibentuk oleh media. Fenomena infotaiment yang marak dalam industri
telivisi dapat diajukan sebagai kasusu salah kaprah media mendudukan publik dan
massa. Serinng ditemui proses produksi berita atau informasi oleh sejumlah
infotaiment menggunakan disposisi sosial yang keliru.
Media
dalam relasinya dengan publik pada gilirannya akan dituntut untuk memenuhi
kepentingan publik tersebut. Sebab, selain berfungsi sebagai institusi ekonomi
yang beroreantasi profit, media juga merupakan institusi sosial karena memeliki
kewajiban untuk turut membentuk tatanan publik yang ideal. Ini yang disebut
sebagai kewajiban sosial media. Suatu kewajiban yang melekat dalam institusi
media, terutama dalam kehidupan media yang demokratis. Isi media terutama
televisi yang bersifat menghibur harus diletakkan dalam konteks pemenuhan hak
publik untuk mendapatkan hiburan dan juga sebaliknya.
Lebih
lanjut dalam relasinya dengan media dibandingkan massa publik berjumlah relatif
lebih besar, tersebar, stabil, dan bersifat otonom. Publik cenderung terbentuk
berdasarkan isu atau wacana media memiliki tujuan utama untuk memperjuangkan
kepentingan publik. Melalui media, publik dapat beropini untuk memperjuangkan
keinginannya demi menghasilkan suatu perubahan ke arah terwujudnya kebaikan
publik.
Publik
menjadi semacam ‘institusi soaial’ yang mampu mengorganisir pendapat mereka
sedemikian rupa untuk segera secara efektif memberi umpan balik terhadap isu
dan wacana yang berkembang di media. Bentuk atau wadah realasi publik media ini
yang kemudian dikenal sebagai ruang publik. Ruang diciptakan untuk berbagai
aksi publik dan media dapat dirujuk sebagai ruang publik (public sphere).
C. Media Televisi Sebagai Public Sphere
Istilah
publik dalam relasinya dengan media dapat ditelusuri dari pemikiran Jurgen
Habermas tentang public sphere merupakan sebuah formasi pengertian
‘publik’bukan sebagai prinsip yang abstrak, tetapi sebagai suatu penamaan
praktik sosial secara budaya, dan ini membicarakan analisa media secara
historis.
Opini
publik yang terbentuk dalam public sphere menggambarkan suatu proses sosial
terjadinya tranformasi kekuasaan, atau tepatnya kontrol publik terhadap
kekuasaan negara. Dalam iklim demokrasi dan era media saat ini, media massa
menjadi pusat strategis bagi terwujudnya public sphere. Menurut Murdock (1992)
(dalam Barret and Newbold, 1995) public sphere pada era demokrasi setidaknya
memiliki tiga prinsip, yaitu:
1. Adanya kebutuhan masyarakat demokratis
(warga negara) untuk memiliki akses terhadap informasi, sarana dan analisis
yang akan membuat mereka mampu mengetahui dan berusaha memperoleh hak-hak
pribadi mereka.
2. Adanya akses informasi yang luas dan
kebebasan berdiskusi dalam wilayahyang terkait pada pilihan politik publik.
3. Adanya fasilitas bagi masyarakat untuk
mengenali diri sendiri dan aspirasinya yang terpresentasi di media, serta media
dapat memberikan kontribusi atas pengembangan masyarakat. Hal ini juga akhirnya
akan mentransformasikan politik menjadi rational authority dalam media yang
menjadi ruang publik, sehingga surat kabar politik memiliki peran penting.
Dari
sini sebenarnya bukan hal baru jika media massa kerap digunakan sebagai alat
bagi partai politik untuk membentuk opini sebagaimana terjadi di Indonesia.
Dalam ruang publik, media massa seharusnya menjadi katalisator dalam
menyelesaikan masalah atau pertikaian dalam masyarakat. Sayangnya, media
bukanlah saluran yang bebas. Media merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.
Di
samping itu, dalam pandangan kritis, media dipandang sebagai wujud dari
pertarungan ideologi antar kelompok. Hanya kelompok berideologi dominanlah yang
akan tampil dalam pemberitaan dan menguasai media. Di sini distorsi,
mis-representasi, mis-komunikasi dan mis-interpretasi dalam pemberitaan tidak
terhindarkan; termasuk pemberitaan yang dinilai merusak citra suatu kelompok
tertentu.
Oleh
karena adanya keberpihakan suatu kelompok inilah, independensi media sebagai
sebuah media massa di dalam publik dipertanyakan. Pemberitaan dalam sebuah
media massa pun pantas untuk diragukan, karena media tersebut atau mungkin
bigboss dari media tersebut mendukung suatu kelompok, demi untuk mempertahankan
citra kelompok tersebut. Hal ini tak pelak berimbas pada kinerja dari
jurnalisnya sendiri.
D. Politisasi dan Komersialisasi Media
Televisi
Masuknya
Kapitalisme pada industri media dapat dengan cepat memfasilitasi dan menaikkan
berita dan informasi sebagai komoditas. Dalam industri media, cara kerja
kapitalisme tersebut adalah dengan memonopoli publik yang dilindungi oleh
negara dan dioperasikan sesuai dengan prinsip public good. Semuanya terlihat
seakan secara nyata bermanfaat bagi publik. Akibatnya, semakin komersial suatu
berita atau informasi maka semakin cepat terbentuknya budaya massa. Semakin
terpusatnya kepemilikan media semakin tidak ada pilihan informasi bagi publik.
Dewasa
ini, media massa semakin memegang peran sangat penting dalam kehidupan politik.
Aktivitas media dalam melaporkan peristiwa-peristiwa politik sering memberi
dampak yang amat signifikan bagi perkembangan politik. Di sini, media bukan
saja sebagai sumber informasi politik, melainkan juga kerap menjadi faktor
pendukung (trigger) terjadinya perubahan politik. Pemberitaan yang lebih
terbuka ---untuk menyebut salah satu kasus ---oleh pers nasional tentang
keberatan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah turut serta dalam
mempercepat tumbangnya rezim itru pada tahun 1998 oleh Gerakan Reformasi. Ketika itu, pemberitaan luas tentang gerakan
reformasi yang dilakukan mahasiswa beserta masyarakat oleh media cetak dan
elektronik telah menyebabkan efek domino tuntutan dipercepatnya pengunduran
diri Presiden Soeharto ke berbagai elemen masyarakat. (Suwardi dalam Hamad,
2004 : XV)
Menurut
Harsono Suwardi dalam Ibnu Hammad, banyak aspek dari media massa yang membuat
dirinya penting dalam kehidupan politik.
1. daya jangkaunya (coverage) yang sangat
luas dalam menyebarluaskan informasi politik; yang mampu melewati batas wilayah
(geografis), kelompok umur, jenis kelamin, sosial-ekonomi-status (demografi)
dan perbedaan paham dan orientasi (psikografis). Dengan begitu suatu masalah politik yang
dimediasikan menjadi perhatian bersama diberbagai tempat dan kalangan.
2. kemampuannya melipatgandakan pesan
(multiflier of message) yang luar biasa.
Satu peristiwa politik bisa dilipatgandakan pemberitaanya sesuai jumlah
eksemplar koran, tabloid dan majalah yang tercetak, juga bisa diulang-ulang
penyiarannya sesuai kebutuhan. Alhasil,
pelipatgandaan ini menimbulkan dampak yang sangat besar di tengah khalayak.
3. setiap media bisa mewacanakan sebuah
peristiwa politik sesuai pandangannya masing-masing. Kebijakan redaksional yang dimilikinya
menentukan penampilan isi peristiwa politik yang diberitakan. Justeru karena kemampuan inilah media banyak
diincar oleh pihak-pihak yang ingin menggunakannya dan sebaliknya dijauhi oleh
pihak yang tidak menyukainya.
4. tentu saja dengan fungsi agenda setting
yang dimilikinya, media memiliki kesempatan yang sangat luas (bahkan hampir
tanpa batas) untuk memberitakan sebuah peristiwa politik. Sesuai dengan kebijakannya masing-masing,
setiap peristiwa politik dapat disiarkan atau tidak disiarkan. Yang jelas, belum tentu berita politik yang
menjadi agenda media merupakan agenda publik juga.
5. pemberitaan peristiwa politik oleh suatu
media lazimnya berkaitan dengan media lainnya hingga membentuk rantai informasi
(media as link in other chains). Hal ini
akan menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi politik dan
dampaknya terhadap publik. Dengan adanya
aspek ini, semakin kuatlah peranan media dalam membentuk opini publik (Hamad,
2004 : XV)
Di
tengah peradaban yang sudah bertransformasi menjadi The Age of Media Society
seperti saat ini, tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa. Media massa bukan saja menjadi ikon zaman,
tapi juga penanda dari setiap perikehidupan yang berlangsung dalam abad ini. Tak sedetik pun momen terlewatkan dari media
massa. Tak secelah pun informasi terabaikan.
Lebih-lebih
lagi, televisi. Di antara media massa
lainnya, televisi memang primadonanya.
Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses
untuk mendapatkan hiburan dan informasi.
Betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun
individu. Selain itu, televisi memiliki keunggulan-keunggulan dibanding media
massa lainnya, yaitu sifatnya yang bisa menampilkan sebuah peristiwa secara
audia visual. Hal ini, lebih menarik
minat masyarakat untuk menggunakan televisi sebagai media informasi,
pendidikan dan hiburan.
Karena
sifat-sifatnya itu, media televisi saat ini menjadi rebutan para politisi.
Mereka seolah berlomba untuk mendapatkan perhatian media televisi. Karena daya jangkaunya, misalnya, para aktor
politik memanfaatkan media untuk menyebarluaskan pembicaraan-pembicaraan
politik mereka, dengan harapan capaian tujuan politiknya juga bisa jauh lebih
besar ketimbang yang bisa diperoleh
melalui saluran komunikasi politik
lainnya (Hamad, 2004 : 10).
Sehingga,
di balik kuatnya posisi tersebut, televisi—atau tepatnya, industri
televisi—menghadirkan juga sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh
content televisi yang acap kali mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan
khalayak sebagaimana dimanatkan undang-undang. Sebagian besar produk televisi
adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak
rasional dan mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu.
Selain
itu, munculnya kepemilikan televisi oleh segelintir orang atau sekolompok orang
menimbulkan politisasi media televisi.
Menurut pengamatan penulis, media televisi saat ini dimiliki oleh para
pengusaha yang menerjunkan diri menjadi politisi. Sebagai politisi, tentu saja meraka memiliki
tujuan-tujuan politik. Sebenarnya, tidak ada salahnya bagi seorang
pengusaha/pemilik stasiun televisi terjun dalam dunia politik. Tetapi sayangnya, saat ini muncul gejala
politisiasi terhadap media televisi yang dimilikinya. Kekuasaannya sebagai
pemilik stasiun televisi kerap memaksakan “syahwat” politiknya dalam
siaran-siaran televisi.
Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam tulisan ini penulis akan menyoroti masalah
politisasi media televisi tersebut. Politisasi dalam tulisan ini diartikan
sebagai pemaksaan “syahwat” politik dari pemilik televisi untuk mencapai tujuan
politiknya melaui siaran-siaran televisi.
Komersialisasi merupakan suatu
tindakan yang mengutamakan sisi beneficial dan eksistensi. Sedangkan maksud
dari komersialiasi pada televisi yakni, bergesernya fungsi televisi sebagai
media penyiaran yang edukatif dan informatif menjadi media yang mengutamakan
profit/keuntungan dengan mengesampingkan kualitas siaran yang ditayangkan.
Bentuk komersialisasi dari media televisi saat ini diantaranya adalah:
a. Program yang berbasis pada rating
Keberadaan
rating ini dipakai sebagai rujukan atau pedoman, bukan kualitas akan program
yang ditayangkan, sehingga pihak pengelola hanya akan menilik keberadaan
program berdasarkan jumlah viewers semata dan mengesampingkan nilai-nila
edukatif dan informatif itu sendiri. Dengan adanya rating ini misal suatu
program mendapat rating yang tinggi, maka akan memicu bagi stasiun televisi
lainnya untuk membuat program serupa dengan harapan yang sama. Sementara, tidak
selalu formulasi dan komposisi sebuah acara yang sama persis bisa mendapatkan
angka rating yang sama persis pula. Baru setelah semuanya pasti, yakni setelah
angka capaian rating didapatkan. Pemasang iklan baru akan datang. (Wirodono,
2006: 94).
b. Maraknya Iklan sebagai profit making
Televisi
dengan kapitalisme memang sulit dipisahkan, keduanya memiliki kepentingan yang
nyaris tidak berbeda. Menurut Shoemaker (1991 :121), organisasi media merupakan
entitas ekonomi, formal dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik
modal, dan pasar dengan tujuan untuk memproduksi, mendistribusi dan membuka
cara konsumsisme yang ditawarkan. Sebagai capitalist venture televisi
beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu
memfasilitasi tetapi juga mengekang. Dalam pandangan Smythe, fungsi utama media
pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audien bagi monopoli penjualan
pengiklan kapitalis (Smythe 1997).
Dengan
demikian, media khususnya televisi terjerat dalam tiga situasi: pertama,
tingginya investasi yang harus disiapkan dan yang mengakibatkan desakan untuk
menjamin return of investment sesuai dengan rencana bisnis awal. Kedua,
kecenderungan meningkatnya biaya overhead dari tahun ke tahun yang disebabkan
oleh berbagai faktor seperti suku bunga, peningkatan biaya produksi terutama
peralatan, peningkatan biaya untuk pengisi acara dan biaya penyewaan fasilitas
produksi seperti lighting, audio, set décor, dan post production facilities.
Ketiga, desakan teknologi yang menuntut dipenuhinya teknologi baru secara terus
menerus untuk memungkinkan kualitas dan kreatifitas produksi agar tetap
kompetitif terhadap produk dalam maupun luar negeri. Akumulasi dari ketiga
permasalahan tersebut menyebabkan kompetisi ketat yang pada gilirannya
menimbulkan benturan antara idealis masyarakat dan media yang bersangkutan
(Ishadi S.K, 2010: 128)
c. Ekonomi Politik
Sesuai
pendapat McQuail (2010 : 219) terdapat tiga faktor utama yang akan selalu
mempengaruhi operasionalisasi penyiaran TV :
(1)
Ekonomi,
(2)
Teknologi ,
(3)
Politik.
Faktor
ekonomi dan teknologi merupakan dua faktor utama penunjang keberlangsungan
hidup TV sebagai industri. Pengaruh faktor politik dapat terlihat secara
eksplisit dan implisit melalui isi program tayangannya, dan semakin jelas
ketika Pemilu (Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja).
Media
yang ditumpangi kekuatan penguasa tertentu ini menggunakan propaganda politik
sebagai sasarannya. Lasswell (dalam Hafied Cangara, 2009) menyatakan bahwa
propaganda adalah suatu kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi
yang membawa masyarakat dalam situsi kebingungan, ragu-ragu, dan terpaku pada
sesuatu yang tampak menipu dan menjatuhkan.
Propaganda
ini dilakukan dalam berbagai bentuk diantaranya yakni kampanye. McGniss dalam
bukunya The Selling Of President (dalam Hafied Cangara, 2009) menyebutkan bahwa
media massa utamanya televisi memiliki peran yang menentukan dalam pembentukan
citra kandidat.
E. Publik sebagai Agen Sosial dan Strukturasi
Media
Menurut
Giddens, manusia sebagai agen sosial memiliki keterarahan dan memiliki tujuan
dalam setiap perilakunya sehari-hari. Hal ini disebut dengan monitoring
refleksif dan rasionalisasi. Perilaku manusia itu merupakan proses, bukan hasil
atau akibat dari motivasi awalnya yang dapat berupa dorongan tidak sadar. Atas
dasar pemikiran tersebut, menurut Giddens, menjadi manusia adalah menjadi’agen’
bagi terbentuknya segala macam perbedaan, memiliki kapasitas untuk mencampuri,
memengaruhi, dan membentuk seluruh peristiwa sosial yang terjadi di dunia.
Disaat yang sama sebagai agen, setiap manusia memiliki apa yang disebut Giddens
dengan knowledge ablity untuk melindungi seluruh otonomi tindakannya (Giddens,
1982:212).
Rezim
media sebagai sebuah struktur sosial dapat terbentuk setelah melalui
partisipasi publik sebagi agen atau aktor sosial. Perpekstif teori struturasi
Giddens mengemukakan tiga tingkatan kesadaran agen, yaitu:
1. Motif atau kognisi tidak sadar
(unconscious motives/cognition). Motif lebih merujuk kepotensial bagi tindakan,
ketimbang cara tindakan itu dilakukan oleh si agen,
2. Kesadaran diskursif (discursive
consciousness) yaitu apa yang mampu dikatakan atau diberi oleh ekspresi verbal
oleh agen, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi
dari tindakannya sendiri.
3. Kesadaran praktis (practical
consciousness), merupakan sesuatu yang diketahui (percayai) oleh publik sebagai
aktor sosial tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari
tindakannya sendiri. Kesadaran praktis terkait dengan stok pengetahuan yang
secara implisit digunakan oleh agen dalam bertindak maupun mengartikan tindakan
yang lain.
F. Jurnalisme dan Kepentingan Publik
Jurnalisme
atau jurnalistik berhubungan erat dengan kata "berita". Berita itu
adalah informasi baru-baru tentang sesuafu yang telah terjadi atau tentang
sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Maka berita itu adalah kejadian,
peristiwa atau hal yang baru., YMEmemberi pengalaman baru serta menarik untuk
diperhatikan, menarik untuk dirasakan, menarik untuk dilukiskan bahkan memberi
kekayaan diri pribadi yang bisa menyenangkan, menguntungkat, memberi rasa
bahagia, menjadikan bersedih, menjadi kecewa atau hal baru apa saja yang datang
pada penglihatan, pendengaran, persaan, pikiran dan seterusnya.
Berita
adalah kata pokok atau inti dari jurnalisme, dan manusia membutuhakn berita
karena analisa dasar yang menjadikan manusia menyimpulkan untuk mendapat
pengetahuan dan kejadian serta peristiwa-peristiwa di luar pengalaman mereka
sehingga mereka merasa amarl, mereka dapat merencanakhn dan mengatur hidup
mereka. Selanjutnya, dengan berita itu orang menciptakan komunitas karena
menjadi saling tukar menukar informasi atau berita; berita membuat ikatan antar
manusia terjalin (R.ovach. Bill & Rosenstiel, Tom, 2001).
Untuk
apa berita itu disampaikan dan apa tujuan jurnalisme? Pertanyaan ini memberikan
arah pikiran kita pada apa tujuan penyajian berita yang tak lain tak bukan
ialah menyampaikan kebenaran sehingga orang-orang mempunyai informasi yang
mereka butuhkan dan berdaulat, dan ini adalah kata-kata dari Jack Fuller,
Presiden Tribune Publishing Company yang menerbitkan Chicago Tribunes. Ia
adalah penulis, novelis, pengacara selain tugasnya di Tribune Publishing
Company.
Dalam
kode etik American Society News Paper Editor dinyatakan bahwa tujuan jurnalisme
ialah untuk melayani kesejahteraan umum dengan menginformasikan berita kepada
orang-orang. Berita adalah bagian dari komunikasi yang membuat kita terus
memperoleh informasi tentang pengertian, peristiwa isu dan tokoh di dunia luar.
Situasi
jurnalisme kontemporer di Indonesia saat ini memang cukup memprihatinkan.
Kebebasan pers yang telah mendapat legitimasi yuridi melalui Undang-Undang
Nomor 40 tahun 1999 dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya justru bukan oleh
jurnalis tetapi oleh pemilik media. Jurnalisme semakin menjauh dengan agenda
publik karena kuatnya tekanan pemilik media yang memiliki target pencapaian
ekonomi dan politik tertentu.
Kepentingan
publik adalah hal ikhwal yang berhubungan dengan apa yang menjadi kebutuhan publik yang utama
tanpa hal mana kehidupan manusia tak lengkap atau terasa ada yang hilang. Maka,
ada banyak kepentingan-kepentingan bagi kehidupan manusia. Ada kepentingan
manusia yang berhubungan dengan kehidupan fisisbiologis manusia, dan bila tak
ada hal itu maka manusia terancam hidupnya. Bila orang terancam tidak
dapatbernafas maka hidupnya juga terancam maka timbul kepentingan untuk
menjamin lingkungan kehidupan manusia terbebas dari racun, gas mematikan atau
ketiadaan udara unfuk bernafas. Ada kepentingan lain yang berhubungan dengan kehidupan
biologis ialah makan dan minum. Maka, orang-orang dalam kehidupannya bekerja
dan berusaha untuk memperoleh minuman dan makanan agar ia tak kehausan dan
kelaparan yang mengakibatkan kehidupannya terancam.
Terdapat
pula kepentingan yang berkaitan dengan kepentirg* fisis-biologis di atas yaitu
kepentingan untuk hidup sehat. Kesehatan adalah kepentingan yang perlu
diusahakan manusia agar ia tidak menjadi sakit yang pada gilirannya dapat
mendatangkan kematian. Demikian juga terdawpat kepentingan akan pergaulan
sosial. Manusia t9memerlukan kebutuhan untuk pergaulan; ia perlu berhubungan
atau berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, dalam rangka itu dalam
kehidupan dan pergaulannya, manusia telah lama mengenal akan adanya kelularga
dimana suami bergaul dengan isterinya, dan ayah dalam keluarga bergaul dengan
anak-anaknya, selanjutnya terdapat pergaulan antara anggota-anggota keluarga
lainnya.
Kesimpulan
Konten
pemberitaan sebuah media sangat dipengaruhi oleh ideologi yang diusung media
dan pemilik media bersangkutan, amati saja, jika media tersebut berhaluan
kapitalisme maka pemberitaannya pasti cenderung melakukan pembenaran terhadap
agenda – agenda kapitalisme, tentu hal tersebut dikemas sangat halus, atau
media yang berhaluan pada paham agama tertentu, pasti pula pemberitaannya lebih
banyak melakukan klaim pembenaran terhadap paham agama tersebut, begitupun
dengan ideologi yang lain.
Dalam
situasi seperti ini, sebenarnya kita membutuhkan media independen yang berani
keluar dari arus pemberitaan media mainstream, hal tersebut telah coba
dilakukan oleh beberapa kelompok, namun sayangnya media independen juga sering
terjebak pada konflik kepentingan, apakah kepentingan politik dalam sebuah
Negara, atau konflik kepentingan dalam area yang sangat kecil, dalam situasi
ini, independensi sering tergadai, secara sadar atau tak sadar media
bersangkutan berpihak kepada salah satu kelompok kepentingan, akibatnya ia pun
terklaim sebagai pembawa suara kelompok kepentingan tertentu, boleh jadi
kelompok kepentingan tersebut belum tentu benar adanya, bahkan berpotensi
terbukti keliru di kemudian hari, seharusnya awak media independen membatasi
diri pada semua kelompok kepentingan, tidak terlalu jauh bergumul intim dengan
kelompok tersebut, hal ini penting demi menjamin netralitas, sebab sekali
kehilangan kepercayaan sebagai media independen maka terlalu sulit
membangkitkan kembali kepercayaan itu, atau bahkan mustahil.
Tak disangkal, kita memang mengalami
lompatan sosial (social jumping) dari budaya agraris ke masyarakat informasi
yang belum matang. Maksudnya, masyarakat yang masih rendah tingkat literasi
medianya, langsung diterpa pola penontonan serba-wah yang meninabobokan
kesadaran khalayak. Jadilah bangsa kita sebagai bangsa penonton berat (heavy
viewers) yang kerap kali mudah terdominasi sekaligus tunakuasa untuk melakukan
kritisisme atas beragam pengetahuan dan mungkin juga “sampah” informasi yang
setiap hari dihantarkan televisi hingga ke ruang-ruang keluarga.
REFERENSI
Bambang,
Cahyono Tri, 2005, Manajemen Samber Doya Monusio, Jakarta: IPWI
Curran,
James. (et.al.). Culture Society and the Media. (2005)
Dant,
Tim. Critical Social Theory Culture, Society and Critique. (2004)
Harsmo,
Andreas, 2010, Agoma Saya adalah Jurnalisme, Yogyakarta : Kanisius
Syahputra,
Iswandi 2013, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment
dalam Industri Televisi, Yogyakarta:
Gramedia Pustaka Utama